Minggu, 26 Oktober 2014

Review: Brad Pitt's Fury

[Sony Pictures; 2014]

Director: David Ayer

Restricted, 2hr 15m

Bagian paling puitis di sepanjang dua jam ke depan membuka cerita yang mungkin sudah ratusan kali diangkat ke layar lebar ini. Merajam kepala manusia dengan pisau merupakan tindakan wajar dan membiarkan seekor kuda hidup bebas adalah tindakan yang lebih penting agar masih bisa disebut manusiawi. Sekaligus memperkenalkan sebuah grup tentara dan tank-nya, ‘Fury’, berisikan seorang yang agamis, orang meksiko, prajurit temperamen, dan sang pemimpin   yang mungkin jadi filsuf perang jika bisa selamat nanti.

Cerita bergerak lumayan cepat di awal, dengan langsung dikenalkannya seorang tentara baru masuk ke dalam grup tersebut; dia yang tak mau membunuh seorang pun, dia yang punya keahlian mengetik 60 kata per menit, harus beradaptasi dengan cepat dan mematuhi satu perintah: kill the Nazis.

Kegilaan dalam perang dipilih sebagai hal yang paling ingin ditampilkan David Ayer sebagai creator. Selain tentunya menembakkan ratusan peluru ke tubuh Nazi yang sudah mati dan sengaja tidak menembak mereka yang terbakar agar mati perlahan, sisi moral dan sikap mereka di luar peperangan pun sudah berubah. Bagaimana caranya menjilat dan meludahi makanan orang lain dibilang normal, dan menghormati tuan rumah makan malam dengan tidak meng-gang bang-nya adalah hal yang tidak wajar?

Karakter Logan Lerman mungkin ditujukan sebagai kompas moral dalam melalui cerita ini. Menolak membunuh mata-mata musuh yang ada di depan matanya, tidak ikut menembaki mayat-mayat lalu dengan baik menghabisi setiap Nazi yang terbakar, bahkan tak mampu menembakkan peluru ke kepala orang yang jelas-jelas baru saja membunuh tentara di pihaknya. Semua itu hanya karena ia sama sekali tak mengerti perang, dan tak yakin siapa yang benar dan salah di dalamnya.

But war doesn’t determine who is right. It determines who is left.



Brad Pitt sebagai Wardaddy (cocok atau tidak panggilannya, silahkan tentukan sendiri) tampil elegan dengan segala pandangannya tentang perang. Walau tak sesempurna Lt. Aldo Reine di perang yang sama namun beda semesta, dia punya semua alasan mengapa ia bisa, dan harus, menjadi pemimpin tank-nya.  Ia bisa menjadi orang paling suci di suatu kondisi namun iblis jahat dilain kesempatan, yang jelas semua itu benar dalam logiknya.

Sementara sisanya saling melengkapi: tentara religious dengan Tuhan-nya sebagai pembenaran dan harapan akan semua dan apa yang akan terjadi, tentara asal meksiko dengan sifat meksikonya (selalu saja ada), dan tak ketinggalan karakter pemarah, tukang ribut, seorang optimist,  yang sangat berguna jika kita kebingungan dan butuh bumbu-bumbu konflik.

Standar sebenarnya.

Dari sisi sinematik, omong kosong tampaknya jika tak mengakui apa yang tertangkap mata dan telinga sepanjang pertunjukkan semuanya jempolan. Divisi artistik tentu tak mau main-main dalam menghidupkan suasana neraka di Jerman saat itu. CGI dan FX yang gak berlebihan justru hasilnya pas. Plus sinematografi yang membuat setiap adegan battle intense dan bagian drama natural. Namun semuanya baru jadi nirwana ketika sound effect yang ga nanggung-nanggung dan scoring yang tanpa tega akan menyayat hati dan telinga jika diperlukan, menyatu dengan yang lainnya. Tak ada yang meragukan kalau adegan one on one tank battle itu sama kaya dan mahalnya dengan keseluruhan sisa film.

Namun terkadang, bahkan disaat paling genting dan seru pun pertanyaan itu datang: lalu apa? If we’re here not for right or wrong, then for what? Mungkin perdamaian harganya memang sangat mahal dan butuh jutaan nyawa melayang untuk membelinya, dan tak ada cara manusiawi untuk mencapainya, mungkin malah kita tak bisa disebut manusia saat melakukannya. Kalau begitu, masih pantaskah perdamaian itu dikejar? Yang diakhir perjalanan menyebabkan kompas moral kita untuk melewati cerita ini rusak, melupakan segala keraguan dan pertanyaan dan mulai senang menembaki musuh sambil teriak ‘Fuck you Nazi!’?

In the end, Wardaddy has a point

‘Ideology is peaceful, history is violence.’


My thought: 6,5/10