Rabu, 11 Juni 2014

Review Edge of Tomorrow


All you need is die and repeat.

Pernah nonton Source Code? Starship Troopers? Setengah jam pertama dari Saving Private Ryan? Atau Groundhog Day (oke gue juga belum nonton sih kalo yang ini)?  Well, this one is gonna make you remember.

Dibuka dengingan suara khas makhluk asing yang misterius, kemudian potongan-potongan adegan yang menjelaskan secara singkat kalo bumi terkena invasi alien (tipikal summer movie banget; Pacific Rim, Godzilla) dan hampir menguasai seluruh Eropa.

Poin sebenarnya ada pada Kolonel Cage, yang dipaksa ikut berperang padahal sebelumnya nggak pernah sama sekali. Langsung kojor setelah beberapa menit di lapangan. But somehow, sebelum ia mati, ia membuat dirinya terjebak dalam sebuah time loop, yang membuatnya terus hidup kembali dan mengulanginya lagi.

Time travel atau time loop apapun itu, emang selalu menarik buat diangkat jadi cerita. Ratusan film udah membahasnya dari bermacam sisi. Baik cinta seperti di About Time, kemanusiaan di Terminator series, atau cuma have fun kayak yang dilakuin sama Back to The Future. Musim panas ini aja udah ada dua, setelah X-Men dua minggu sebelum Tom Cruise disini. Dan ada kemungkinan nanti Interstellar menyusul.

Bagi yang mengharapkan sebuah cerita kompleks dengan pendalaman karakter yang sangat jero,  segera lupakan itu. Action yang ga setengah-setengah emang  jadi jualan utama disini. Sayang sekali keseluruhan adegan tidak mengambil banyak lokasi berbeda. Ingat adegan penyerbuan di pantai dalam opening Saving Private Ryan? Ulangi itu sebanyak 25 kali.

Mungkin tema time loop yang menjadi kendala utama. Namun seharusnya banyak yang bisa dieksplor, meskipun hanya dari satu pertempuran.

Ada beberapa ciri khas ketika sebuah film mengangkat tema time travel. Dan mungkin membuat kita sedikit bosan. Bertemu dengan versi mudanya lah, merubah sejarah, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Percayalah, salah satu lelucon diatas bakal muncul.

Begitupun disini. Meskipun harus diakui, setidaknya semua itu hadir dengan baik. Bahkan kalo boleh dibilang secara mengejutkan justru lelucon-lelucon itu yang dominan memberi warna. Keefektifan cerita juga jadi hal positif lainnya. Kreator emang bener paham kalo penonton selalu lebih pintar. So, meskipun keseluruhan cerita adalah pengulangan, tapi kita tidak dibuat bosan.


Selain hal tadi, yang lainnya biasa-biasa saja. Tom Cruise hanya bermain lebih ketika ia memerankan seorang kolonel cupu dan linglung. Selebihnya, ia seperti memerankan jenis lain dari Ethan Hunt atau Jack-nya Oblivion. 

Untung aja ada Emily Blunt. Dengan otot agnezmo nya, pemanis satu ini benar-benar memaniskan film ini. Lalu cast lain tidak bisa dianggap beneran ada. Hampir gak ada karakter pasif yang menjadi aktif di Act II. So, bisa dibilang film ini cuma dibintangin mereka berdua, dan sisanya hanya figuran. Sisi scoring pun tak bisa berbuat banyak. Semuanya hadir sesuai kebutuhan, tak ada yang memberi nilai tambah. Malah, beberapa momen yang seharusnya bisa menjadi sangat indah (salah satunya dekat bagian akhir), berakhir datar karena tidak adanya pertolongan dari departemen suara dan musik.

Kemudian semua itu 'dilengkapi' dengan sempurna oleh sebuah penutup yang sangat memuakkan. Maksa. Hollywood minded. Happy ending for everyone.

Seharusnya Hollywood sudah mulai berani dan lebih jujur dalam menampilkan film mereka. Tanpa memperhitungkan itu adalah summer movie atau apa pun. Tanpa menghilangkan sebuah kenyataan demi menghadirkan sebuah hiburan yang sempurna.

Edge of Tomorrow masih menawarkan 'sesuatu' dan mereka memang memiliki itu. Untuk sebuah film musim panas, gue pikir sekelumit cerita tentang time loop yang dibalut full-action, cukup buat bikin lo datang ke bioskop dan duduk manis sambil mikirin kapan Tom Cruise keriput dan ubanan lalu menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar