Sabtu, 27 Desember 2014

Double Featurette: Review Supernova Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh & Pendekar Tongkat Emas

Bulan terakhir di tahun 2014 ini gue tunggu dengan alasan yang nggak biasa: film Indonesia. Dengan dirilisnya adaptasi dari salah satu novel favorit gue ditambah sebuah film silat yang bikin penasaran karena udah lama nggak ada film lokal beginian lengkap dengan Nicholas Saputra dan Christine Hakim, siapa yang nggak excited? Banyak. Gue malah sempat berharap, satu diantara dua film ini bisa jadi suatu karya berkualtas sekaligus box office, bahkan mungkin ngalahin pesaing dari Hollywood kayak The Hobbit

Dan seperti yang sudah diprediksikan gue jelas-jelas kecewa dengan bulan ini.


Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh

Film ini membuktikan bahwa masih banyak orang goblok di industri perfilman kita, yang mana satu-satunya alasan mereka bisa disana adalah kebanyakan duit. Diproduseri oleh Sunil Soraya, orang yang sama yang bikin 5cm dan Van der Wijck, dengan sutradara dan pemain-pemain kesayangan. Sempat berharap hasilnya bakal bagus karena seenggaknya ini adalah adaptasi dari salah satu novel terbaik Dee, harapan itu langsung pupus bahkan sebelum film setengah jalan.


Yang pertama adalah cast. Okelah jika Arifin Putra, Herjunot, atau Fedi Nuril (yang terakhir disebut yang paling mendingan) bermain sesuai standar masing-maisng. Namun selain mereka, tampaknya belum pantas main di layar lebar dan sebaiknya masuk FTV aja dulu buat latihan. Terutama Paula Verhoeven sebagai Diva yang keliatan banget baru belajar akting tadi subuh sebelum syuting. Ekspresi yang aneh, pergerakan yang kaku, sampai suara saat narasi yang bikin pengen lepas sepatu dan melemparkannya ke layar right into her pussy so she would know if that the only thing she has, that doesn’t bother me.

Kemudian banyaknya shot-shot yang mereka pikir mungkin keren tapi gak ada maknanya sama sekali. Mungkin mental orang kita yang selalu ingin pamer akan segala sesuatu tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal bodoh. Shot kapal lengkap dengan sunset! Wuih keren! Ayo ulangi terus sampai sepuluh menit! FUCK YOU!

Dan tentunya semua bermuara pada satu hal yang paling krusial: naskah yang amat sangat buruk. Inti dari cerita ini adalah sebuah roman sains, namun entah apa yang ada di otak kreator, sepanjang film hanyalah ada sebuah roman kelas sinetron dan semua omong kosong sains yang dibicarakan aktor dengan gak jelas pun tak ambil bagian didalamnya!

Bagi siapapun yang sudah membaca novelnya, akan tahu bagaimana jeniusnya Dee menggabungkan sains yang rumit ke dalam kisah cinta yang sebenernya terjadi dimana-mana. Namun film ini sukses mengubah semua itu menjadi sekumpulan omong kosong, keluar dari mulut aktor yang jelas-jelas mereka gak ngerti apa yang mereka bicarakan, hanya untuk membuat penonton kebingungan mendengar banyak istilah dan teori asing lalu berharap kita mengagumi filmnya karena itu. Suatu penghinaan besar dalam sejarah sinematik kita.

Juga poster jiplak. Fak.
Struktur cerita juga teramat berantakan layaknya ditulis anak kecil. Di satu adegan kita mengira ini adalah ending dan ternyata masih ada setengah jam lagi narasi dari semua tokoh utama yang gak jelas apa maksudnya, yang penting dibarengi shot-shot keren (menurut mereka). Inilah titik bifurkasi sebenarnya karena gue nahan buat gak keluar bioskop sama kuatnya dengan nahan buat nggak nunjuk ke layar sambil teriak “Anjing maksud lo apa sih!”

Lalu ada pop-up texting onscreen besar-besaran, namun semua tulisannya juga dibacakan oleh pemain. Mungkin supaya film ini bisa dinikmati baik oleh mereka yang tuli ataupun yang buta.

Dan semua kekacauan ini dilengkapi oleh subtitle bahasa inggris yang masih jadi misteri ditujukan untuk apa (gue yakin kok bukan cuma biar keliatan keren)

My Score: BUSUK/10

Pendekar Tongkat Emas


Nope. Filmnya biasa aja. Gue apresiasi mereka berani bikin film beda dari yang lainnya, set lokasi yang indah lalu semua cast-nya latihan berbulan-bulan buat menguasai koreografi tapi nope, dengan cerita yang sangat standar seakan gak mau mikir saat menulis dan karakter-karakter flat yang membuat semua aktor mahal itu menjadi sia-sia, gak ada yang berkesan disini. Terkecuali mungkin satu sequence battle terakhir yang lumayan menghibur dan beberapa shot lanskap ajaib, selain itu tidak ada apa-apa. Semuanya biasa-biasa saja. Udah.

My Score: 5/10

Jumat, 26 Desember 2014

Review Interstellar

[Warner Bros; 2014]

Director: Christopher Nolan

Runtime: 165 min, PG-13

Jika ada orang yang bisa membuat otak kita bekerja dengan sukarela, membuat kisah fiksi dengan modal seratus persen fakta, membuat versi ‘tabu’ dari sesuatu yang dianggap hanya ada satu cara untuk menjualnya dan orang-orang (sangat) menyukainya, lebih suka membuat cerita orisinil dan baru ketimbang mengandalkan daur ulang dan tetap sukses baik kritikan maupun penghasilan, tidak berpegang pada movie luck untuk menulis cerita dan menjalankan plot yang ada tetapi justru memperhitungkan setiap detil, atau mengajarkan bahwa ada cara lain untuk menghibur penonton selain kiss-bang-tears-and-blood, itu adalah dia.

Sekali anda tahu itu semua, sulit untuk tidak mengingatnya. Sama sulitnya untuk tidak mencari tahu apa yang selanjutnya dilakukannya.  Dan ketika kita tahu bahwa itu adalah sebuah space opera berisi para scientist dan astronot lengkap dengan wormhole dan blackhole-nya, tentu kita berharap banyak pada orang yang melakukan semua hal diatas. Yang tidak disadari adalah ia bisa saja memilih tidak melakukannya.

Bumi ditunjukkan sudah di akhir usianya, debu-lebih tepatnya pasir-literally ­berada dimana-mana dan hawar mematikan semua tanaman Tidak disebutkan secara jelas kapan setting ini berlangsung tetapi manusia sudah melewati masa dimana tidak ada penemuan baru, inovasi di bidang teknologi atau lainnya, dan semua uang yang ada di dunia dikerahkan untuk satu hal utama yang sudah langka yaitu makanan.


Tidak ada masalah dengan segala penjelasan dan pengenalan keadaan planet kita saat itu, yang sangat mungkin bisa saja terjadi, semuanya pada tepat pada tempatnya. Seorang pilot, anak kecil yang pintar (oh ya petunjuk yang sangat jelas), truk yang identik dengan film-film epik dengan kebun jagung luas yang sangat Hollywood (atau Spielberg?) sekali. Matthew Mcounaghey jelas merupakan seorang brilian karena ia berhasil menyedot semua perhatian kearahnya di setiap adegan sampai ke akhir film. Chemistry ayah-anak dengan Mckenzie Foy juga apik, terutama Foy yang kita semua tahu bisa menjadi aktris top masa depan setelah melihat penampilannya.

Jika paragraf tadi terlalu panjang untuk anda, begitu pula dengan sequence pertama.

Butuh 42 menit bagi Interstellar untuk meninggalkan bumi. See, kita mungkin sudah beberapa kali melihat penggambaran suasana luar angkasa di layar lebar. Mulai dari bermacam-macam sci-fi cliche hingga tahun lalu ada Cuaron dengan space sebagai tempat gelap, dingin, mengerikan tetapi tetap indah dengan bumi di samping kita. Disini diberikan suguhan lain; oke mungkin tidak terlalu ngeri saat tempat kita tinggal masih terpampang besar didekat kita, namun bagaimana setelah ratusan ribu kilometer berikutnya? Perasaan ada-yang-salah-dengan-semua-ini menghantui walaupun disekeliling kita sangat indah juga sepi dan tenang.


Visualisasi ruang angkasa disini mungkin merupakan yang terbaik sampai saat ini. Mulai dari jupiter dengan cincinnya yang anggun, kemudian wormhole yang tampak seperti mutiara raksasa namun menyimpan misteri didalamnya, planet yang hanya berisi air selutut namun ombak setinggi gunung atau sebuah planet es lengkap dengan frozen cloud-nya sampai desain spaceship seperti Endurance ataupun Ranger yang bikin kita berharap punya versi legonya.

Intinya dia benar-benar memanjakan mata kita selama hampir tiga jam tanpa membuat lelah malahan kita dibuat rileks. Lalu bagaimana dengan pikiran kita? Hang on a second.

Tak seperti biasanya, dia memilih cara mudah untuk menghadirkan semua informasi dalam filmnya. Ketika sekumpulan astronot senior membicarakan hukum fisika ‘dasar’, tak ada alasan lagi selain mereka memang disuruh berbicara khusus untuk kita. Ketika terjadi beberapa ‘keberuntungan’ sehingga setiap karakter bisa menjalankan cerita sesuai yang diinginkan, jelas dia sedang kebingungan saat menulis naskah ini. Dan ketika sebuah adegan menjadi kepanjangan karena sang tokoh utama mengulang-ulang satu kalimat yang mungkin merupakan satu-satunya twist di film ini, well, mungkin kita harus menerima kenyataan.

Anyway, anda bisa saja melupakan semua omong kosong diatas. Saat anda duduk, lampu dimatikan dan film dimulai, yang ada dalam pikiran adalah betapa beruntungnya kita mendapat kesempatan untuk ikut dalam sebuah ekspedisi luar angkasa lengkap dengan scoring sinting yang bikin telinga dan otak meledak dari Hans Zimmer. Dan tebak siapa yang mempimpin perjalanan ini? Dia, makhluk dunia lima dimensi itu sendiri, Christopher Nolan.

My Score: 8.7/10 

Rabu, 03 Desember 2014

Review Nightcrawler


[Open Roads Film]

Director: Dan Gilroy

Restricted, 1hr 57m

Kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup mereka. Kebanyakan orang tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lebih banyak lagi orang yang tidak tahu kapan dan kepada siapa harus bersikap sopan, rendah hati, kasar, sombong atau sabar. Dan hampir semua orang tidak mau tahu betapa annoying-nya setiap individu manusia dan apa yang terjadi dalam pikiran mereka pada dasarnya adalah satu: egois. Lou Bloom, mungkin tahu semua hal itu

Kenyataan bahwa media dan audiens adalah sama-sama orang sakit dimana berita buruk, terutama yang berdarah, merupakan salah satu konsumsi favorit terlepas dari apapun yang mendasarinya. Tentu hal itu sudah sering diangkat dan dibicarakan, dengan segala pesan judgemental dan naif untuk kita semua. Namun tidak dalam Nightcrawler.

Ketika sebuah kecelakaan terjadi apa yang harus anda lakukan? Wrong! Kita belum menentukan siapa anda disana. Jika seorang polisi, tentu memberikan bala bantuan adalah hal yang paling utama. Begitu juga jika anda seorang tetangga yang baik atau manusia yang kebetulan lewat dan mempunyai prinsip bahwa sesama manusia harus membantu.  Tetapi jika anda seorang reporter, segera ambil kamera dan cari sudut yang tepat untuk mulai merekam!

Fokus sepanjang cerita adalah Lou Bloom, seorang pria yang punya kemampuan persuasif dalam setiap katanya yang bisa saja menarik setiap lawan bicaranya ke dalam sarangnya. Ia hidup sendirian, dan mencuri apapun yang bisa ia curi didekatnya. Dalam keadaan tak jelas seperti itu ia menemukan satu kenyataan dan juga kesempatan, bahwa berita buruk adalah barang jualan yang menguntungkan, dan bisa didapat dimana saja secara cuma-cuma.

Agak berbeda dari peran-peran sebelumnya Jake Gyllenhaal tampil sebagai pria creepy penuh misteri. Detektif, polisi, koboy homoseksual, sales obat dan dosen sejarah memang pernah ia bawakan dengan sukses namun penampilannya kali ini termasuk salah satu yang terbaik dalam karirnya sejauh ini. Kehadirannya di setiap adegan meneror kita dengan unik, bahkan saat dibuat tertawa pun jauh didalam hati kita tahu ada yang salah disana.

Scoring di film ini agak nyeleneh dari biasanya. Ketika orang-orang mengandalkannya untuk memperkuat suatu adegan dan suasana yang sedang berlangsung, mereka menggunakannya untuk tujuan yang sebenarnya: menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Ketika anda memindahkan satu mayat segar di sebuah kecelakaan mobil hanya demi mendapatkan angle yang tepat, bukan ketegangan dan perasaan ngeri yang dihadirkan melainkan itu adalah suatu keberhasilan dimana anda telah berhasil membuat rekaman dengan sinematografi yang bagus. Ada yang salah? Anda takkan merasakannya.


In the end of the day, Nightcrawler merupakan salah satu tontonan menyegarkan di tengah gempuran produk basi akibat dari krisis ide orang Hollywood dan selera penonton kebanyakan yang juga mendukungnya. Cerita fresh dan original dengan penampilan Jake Gyllenhaal yang mempesona hasil naskah (yang jika anda sudah menontonnya dan menyadarinya, ditulis dengan licik) dan arahan sutradara Dan Gilroy, adalah sebuah tontonan yang mungkin sudah lama tidak anda temukan di bioskop jaman sekarang. Tak perlu banyak yang harus dibicarakan lagi, agar tidak terlalu mengotori perjalanan anda nanti sebaiknya segeralah tonton dan rasakan.


Tidak ada yang benar atau salah. You just got to find a perfect angle.

My Score: 8.5/10

Minggu, 26 Oktober 2014

Review: Brad Pitt's Fury

[Sony Pictures; 2014]

Director: David Ayer

Restricted, 2hr 15m

Bagian paling puitis di sepanjang dua jam ke depan membuka cerita yang mungkin sudah ratusan kali diangkat ke layar lebar ini. Merajam kepala manusia dengan pisau merupakan tindakan wajar dan membiarkan seekor kuda hidup bebas adalah tindakan yang lebih penting agar masih bisa disebut manusiawi. Sekaligus memperkenalkan sebuah grup tentara dan tank-nya, ‘Fury’, berisikan seorang yang agamis, orang meksiko, prajurit temperamen, dan sang pemimpin   yang mungkin jadi filsuf perang jika bisa selamat nanti.

Cerita bergerak lumayan cepat di awal, dengan langsung dikenalkannya seorang tentara baru masuk ke dalam grup tersebut; dia yang tak mau membunuh seorang pun, dia yang punya keahlian mengetik 60 kata per menit, harus beradaptasi dengan cepat dan mematuhi satu perintah: kill the Nazis.

Kegilaan dalam perang dipilih sebagai hal yang paling ingin ditampilkan David Ayer sebagai creator. Selain tentunya menembakkan ratusan peluru ke tubuh Nazi yang sudah mati dan sengaja tidak menembak mereka yang terbakar agar mati perlahan, sisi moral dan sikap mereka di luar peperangan pun sudah berubah. Bagaimana caranya menjilat dan meludahi makanan orang lain dibilang normal, dan menghormati tuan rumah makan malam dengan tidak meng-gang bang-nya adalah hal yang tidak wajar?

Karakter Logan Lerman mungkin ditujukan sebagai kompas moral dalam melalui cerita ini. Menolak membunuh mata-mata musuh yang ada di depan matanya, tidak ikut menembaki mayat-mayat lalu dengan baik menghabisi setiap Nazi yang terbakar, bahkan tak mampu menembakkan peluru ke kepala orang yang jelas-jelas baru saja membunuh tentara di pihaknya. Semua itu hanya karena ia sama sekali tak mengerti perang, dan tak yakin siapa yang benar dan salah di dalamnya.

But war doesn’t determine who is right. It determines who is left.



Brad Pitt sebagai Wardaddy (cocok atau tidak panggilannya, silahkan tentukan sendiri) tampil elegan dengan segala pandangannya tentang perang. Walau tak sesempurna Lt. Aldo Reine di perang yang sama namun beda semesta, dia punya semua alasan mengapa ia bisa, dan harus, menjadi pemimpin tank-nya.  Ia bisa menjadi orang paling suci di suatu kondisi namun iblis jahat dilain kesempatan, yang jelas semua itu benar dalam logiknya.

Sementara sisanya saling melengkapi: tentara religious dengan Tuhan-nya sebagai pembenaran dan harapan akan semua dan apa yang akan terjadi, tentara asal meksiko dengan sifat meksikonya (selalu saja ada), dan tak ketinggalan karakter pemarah, tukang ribut, seorang optimist,  yang sangat berguna jika kita kebingungan dan butuh bumbu-bumbu konflik.

Standar sebenarnya.

Dari sisi sinematik, omong kosong tampaknya jika tak mengakui apa yang tertangkap mata dan telinga sepanjang pertunjukkan semuanya jempolan. Divisi artistik tentu tak mau main-main dalam menghidupkan suasana neraka di Jerman saat itu. CGI dan FX yang gak berlebihan justru hasilnya pas. Plus sinematografi yang membuat setiap adegan battle intense dan bagian drama natural. Namun semuanya baru jadi nirwana ketika sound effect yang ga nanggung-nanggung dan scoring yang tanpa tega akan menyayat hati dan telinga jika diperlukan, menyatu dengan yang lainnya. Tak ada yang meragukan kalau adegan one on one tank battle itu sama kaya dan mahalnya dengan keseluruhan sisa film.

Namun terkadang, bahkan disaat paling genting dan seru pun pertanyaan itu datang: lalu apa? If we’re here not for right or wrong, then for what? Mungkin perdamaian harganya memang sangat mahal dan butuh jutaan nyawa melayang untuk membelinya, dan tak ada cara manusiawi untuk mencapainya, mungkin malah kita tak bisa disebut manusia saat melakukannya. Kalau begitu, masih pantaskah perdamaian itu dikejar? Yang diakhir perjalanan menyebabkan kompas moral kita untuk melewati cerita ini rusak, melupakan segala keraguan dan pertanyaan dan mulai senang menembaki musuh sambil teriak ‘Fuck you Nazi!’?

In the end, Wardaddy has a point

‘Ideology is peaceful, history is violence.’


My thought: 6,5/10


Rabu, 23 Juli 2014

Review Dawn of the Planet of the Apes

(20th Century Fox; 2014) Dir: Matt Reeves


Kalo ada yang bertanya-tanya kenapa sebuah sekuel harus dibuat, Dawn of the Planet of The Apes bisa menjawabnya. Jika film lain dibuat dengan alasan uang semata (walaupun ini juga tujuan semua film dibuat) dan menjadikan beberapa hasilnya maksa, Dawn ada karena memang dibutuhkan.

Tiga tahun yang lalu sebuah reboot yang jenius lahir. Bukan sebuah ide orisinil sebenarnya untuk mengangkat kembali cerita lama dari sudut pandang berbeda. Namun bukan itu aja yang ditawarkan Rise, tapi juga rasa yang baru, meninggalkan segala pernak-pernik yang dianggap cupu dari film nenek moyangnya, dan fokus untuk membuat suatu awal yang baru dan segar.
Apa yang dilakukan Dawn agak unik sebetulnya. Mereka dengan berani menjadikan kera sebagai pentolan utama. Empat film yang sudah ada sebelumnya tetap memakai manusia sebagai story leader. Disini, mereka memutuskan bahwa ini bukan hanya film tentang kera tapi juga film kera itu sendiri. Dan hasilnya, voila! No one will forget Caesar from now.

Entah siapa yang harus mendapat pujian lebih, tim spesial efek atau Andy Serkis yang memerankan Caesar, yang jelas keduanya telah membuat akting para kera disini lebih keren daripada aktor manusia disini. Terutama Andy Serkis, terima kasih kepadanya karena telah membuat satu lagi karakter yang bersuara agung.

Sementara itu penampilan dari kaum kita disini sama dengan nasib manusia di filmnya: menyedihkan. Jason Clarke yang termasuk karakter sentral sama sekali tak memiliki karisma sebagai aktor utama. Hampir semuanya tampil flat. Bukan hanya akting saja namun skrip juga tak mendukung para manusia untuk bisa ‘keluar’. Terbukti dengan Gary Oldman yang tak bisa berbuat apa-apa selain nongol-ngilang-nongol-ngilang dan berakhir nanggung.


Walaupun memiliki kelemahan, tetapi tampaknya tim penulis sudah berusaha maksimal mendorong bagian ini ke titik terjauh. Tema yang ditawarkan sangat menarik sebenarnya: menukar posisi kaum manusia dengan komunitas kera lalu kemudian para kera bersikap seperti kita dan manusia...tetap menjadi manusia. Ketika kita dihadapkan dengan pilihan yang menuntut untuk tidak bersikap egosentris, meskipun disaat kita bisa.

Disini ditunjukkan bahwa yang akan memusnahkan manusia bukanlah krisis yang menyerang dari luar, namun dari dalam diri kita sendiri. Sebuah sindiran yang ironisnya tidak bisa ditolak.

Dan film ditutup dengan sebuah kalimat yang seharusnya dikatakan oleh seorang manusia, malah keluar dari mulut seekor kera.

Nice.

Supaya sah, sebagai summer blockbuster nggak ketinggalan adegan aksi yang seperti sudah menjadi syarat wajib. Semua pasti setuju kalo sepasukan kera menunggang kuda sambil membawa senapan mesin melakukan baku tembak kemudian membajak sebuah tank (dengan sinematografi keren dibagian ini, tentunya), adalah sesuatu.

Pada akhirnya, DotPotA bisa bikin sumringah penonton yang udah mau mati karena bulan juli yang garing. Walaupun tak bisa teralu superior di tangga box office karena memang tidak mempunyai hype yang gede, but who cares? Dengan hasil ini, Caesar bisa berjalan tegak disamping para mutan sebagai yang terbaik di summer tahun ini.

Well done, Dawn!

Kamis, 12 Juni 2014

Film Bukanlah Apa-Apa

Mereka bilang film hanyalah hiburan semata. Kita tidak usah berpikir, membuat otak kita bekerja. Yang kita butuhkan hanyalah duduk manis sambil menelan bulat-bulat semua kebohongan yang disajikan. Kita dihibur selama kurang lebih dua jam, lalu setelah itu selesai. Tidak ada yang tersisa. Tidak kurang, tidak lebih.

Mereka bilang film harus memiliki banyak aksi. Dengan berbagai special FX canggih. Penuh adegan heroik. Tak banyak ngomong. Tanpa berbelit-belit. Karena sekali lagi ini semua hanyalah hiburan. Kita tidak datang untuk membuat otak kita berpikir lebih keras ketimbang disaat kita mengerjakan soal kalkulus, bukan?

Lalu mereka bilang sebuah film harus menginspirasi. Penuh dengan pesan ‘mendidik’ didalamnya. Motivatif dan edukatif. Kita akan diberi wejangan sepanjang cerita, diberi tahu cara menjalani hidup yang benar. Bahwa orang baik hanya akan melakukan tindakan yang baik, dan sebaliknya orang jahat. Dan kemudian setiap mereka yang baik dan sabar dijanjikan sebuah akhir yang bahagia yang tentu akan selalu mereka dapatkan.

Berbagai macam makna bisa kita dapatkan setelah kita menontonnya. Selama kita menonton, kita akan disuapi banyak nasihat-nasihat hingga sampai kalian merasa kenyang, mereka takkan berhenti. Hingga kita semua menangis, bukannya muntah. Lalu keluar dari bioskop dengan keadaan terinspirasi, hanya karena kita telah selesai menonton film dengan cerita penuh inspirasi. Dan merubah kita menjadi manusia yang lebih baik.

Kemudian mereka bilang sebuah film haruslah apa adanya. Tidak naif. Tanpa harus memberi kesan menggurui. Kita sudah muak melihat semua bualan yang ada, dan ingin berteriak kalau di kehidupan yang nyata semuanya tak seperti itu. Kita ingin melihat sebuah realitas disana. Sebuah kejadian yang memang bisa terjadi pada kita, atau di sekitar kita. Mungkin kita memang mengharapkannya terjadi pada kita, atau di sekitar kita. Karena kecewa bahwa hidup kita tak semenarik kebohongan yang film tawarkan.

Lalu mereka ada yang menginginkan semuanya agar kelam. Ketika sang tokoh mati, putus, ditinggal kawin, atau stres dan menjadi gila di akhir, kita senang. Kita menangis, tetapi kita memang mengharapkan itu. Lalu kita seakan membandingkan semua itu dengan kesengsaraan yang sedang kita alami. Lalu dengan senang, menganggapnya sama.

Lalu apa sebenarnya film itu?

Ya, film bukanlah apa-apa. Ketika kita menempatkan diri dalam pandangan-pandangan sempit diatas. Ketika kita hanya ingin mereka memenuhi keinginan kecil kita. Ketika kita dengan egois, hanya menempatkan sedikit harapan kita pada mereka, dan tak mau percaya jika mereka lebih dari itu semua. Maka pada saat itu:

Film, bukanlah apa-apa.

Rabu, 11 Juni 2014

Review Edge of Tomorrow


All you need is die and repeat.

Pernah nonton Source Code? Starship Troopers? Setengah jam pertama dari Saving Private Ryan? Atau Groundhog Day (oke gue juga belum nonton sih kalo yang ini)?  Well, this one is gonna make you remember.

Dibuka dengingan suara khas makhluk asing yang misterius, kemudian potongan-potongan adegan yang menjelaskan secara singkat kalo bumi terkena invasi alien (tipikal summer movie banget; Pacific Rim, Godzilla) dan hampir menguasai seluruh Eropa.

Poin sebenarnya ada pada Kolonel Cage, yang dipaksa ikut berperang padahal sebelumnya nggak pernah sama sekali. Langsung kojor setelah beberapa menit di lapangan. But somehow, sebelum ia mati, ia membuat dirinya terjebak dalam sebuah time loop, yang membuatnya terus hidup kembali dan mengulanginya lagi.

Time travel atau time loop apapun itu, emang selalu menarik buat diangkat jadi cerita. Ratusan film udah membahasnya dari bermacam sisi. Baik cinta seperti di About Time, kemanusiaan di Terminator series, atau cuma have fun kayak yang dilakuin sama Back to The Future. Musim panas ini aja udah ada dua, setelah X-Men dua minggu sebelum Tom Cruise disini. Dan ada kemungkinan nanti Interstellar menyusul.

Bagi yang mengharapkan sebuah cerita kompleks dengan pendalaman karakter yang sangat jero,  segera lupakan itu. Action yang ga setengah-setengah emang  jadi jualan utama disini. Sayang sekali keseluruhan adegan tidak mengambil banyak lokasi berbeda. Ingat adegan penyerbuan di pantai dalam opening Saving Private Ryan? Ulangi itu sebanyak 25 kali.

Mungkin tema time loop yang menjadi kendala utama. Namun seharusnya banyak yang bisa dieksplor, meskipun hanya dari satu pertempuran.

Ada beberapa ciri khas ketika sebuah film mengangkat tema time travel. Dan mungkin membuat kita sedikit bosan. Bertemu dengan versi mudanya lah, merubah sejarah, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Percayalah, salah satu lelucon diatas bakal muncul.

Begitupun disini. Meskipun harus diakui, setidaknya semua itu hadir dengan baik. Bahkan kalo boleh dibilang secara mengejutkan justru lelucon-lelucon itu yang dominan memberi warna. Keefektifan cerita juga jadi hal positif lainnya. Kreator emang bener paham kalo penonton selalu lebih pintar. So, meskipun keseluruhan cerita adalah pengulangan, tapi kita tidak dibuat bosan.


Selain hal tadi, yang lainnya biasa-biasa saja. Tom Cruise hanya bermain lebih ketika ia memerankan seorang kolonel cupu dan linglung. Selebihnya, ia seperti memerankan jenis lain dari Ethan Hunt atau Jack-nya Oblivion. 

Untung aja ada Emily Blunt. Dengan otot agnezmo nya, pemanis satu ini benar-benar memaniskan film ini. Lalu cast lain tidak bisa dianggap beneran ada. Hampir gak ada karakter pasif yang menjadi aktif di Act II. So, bisa dibilang film ini cuma dibintangin mereka berdua, dan sisanya hanya figuran. Sisi scoring pun tak bisa berbuat banyak. Semuanya hadir sesuai kebutuhan, tak ada yang memberi nilai tambah. Malah, beberapa momen yang seharusnya bisa menjadi sangat indah (salah satunya dekat bagian akhir), berakhir datar karena tidak adanya pertolongan dari departemen suara dan musik.

Kemudian semua itu 'dilengkapi' dengan sempurna oleh sebuah penutup yang sangat memuakkan. Maksa. Hollywood minded. Happy ending for everyone.

Seharusnya Hollywood sudah mulai berani dan lebih jujur dalam menampilkan film mereka. Tanpa memperhitungkan itu adalah summer movie atau apa pun. Tanpa menghilangkan sebuah kenyataan demi menghadirkan sebuah hiburan yang sempurna.

Edge of Tomorrow masih menawarkan 'sesuatu' dan mereka memang memiliki itu. Untuk sebuah film musim panas, gue pikir sekelumit cerita tentang time loop yang dibalut full-action, cukup buat bikin lo datang ke bioskop dan duduk manis sambil mikirin kapan Tom Cruise keriput dan ubanan lalu menyerah.

Kamis, 08 Mei 2014

The Amazingly Funny Spider-Man 2


Not bad spidey. Maybe you’re really not that amazing, but quite frankly, umm, it's bad.

Let’s just get to the point. Installmen kedua dari Spider-Man ‘baru’ ini mungkin pada niat awalnya ingin mencapai titik tertinggi dari perjalanan Peter Parker. Strategi memunculkan beberapa villain sekaligus plus satu kejadian yang juga bisa menjadi titik balik dari hidupnya, semua dikumpulkan disini. Does it work? Let me see.

Cerita dibangun dengan premis bahwa permasalahan terberat yang dimiliki Spiderman adalah dirinya sendiri.  Kehidupannya sebagai Peter Parker si orang biasa dan tanggung jawab besarnya sebagai Spiderman (well, walau cuma New York tetep aja kan? Eh). Dihantui oleh pesan Pak Stacy sebelum ia mati, membuat hubungannya dengan Gwen semakin rumit. Yah, cinta anak SMA yang baru lulus mana sih yang gak rumit? Terkecuali hal itu terlalu berat bagi seorang Spiderman.

Lalu muncul Electro, si pegawai Oscorp yang tak dianggap, dengan motivasi yang bisa dibilang masuk akal dan cukup kuat untuk menjadi musuh berat Spidey. Ditambah kembalinya sahabat sejak kecil Peter ke New York, Harry Osborn, dengan segala permasalahan dan kegelapan di masa lalunya. Masih kurang? Jangan lupa teka-teki tentang kepergian sang ayah Richard Parker yang terus mengganggu. Tapi itu jika anda peduli.

Complicated, isn’t it? Tidak ada yang salah dengan sebuah kisah yang rumit, atau permasalahan yang berlapis-lapis, justru itu bisa menjadi sebuah senjata agar cerita menjadi menarik.  Tapi satu hal yang harus dipegang ketika mengangkat sebuah cerita, entah itu rumit atau tidak: fokus.

Kita sudah sering melihat sekuel dari film-film komersial lainnya, jurus andalan mereka tak lepas dari penambahan karakter-karakter baru. Dan tentunya ketika mereka melakukan itu, mereka juga memberi porsi yang lebih untuk informasi mengenai mereka. Karena mereka tahu kita membutuhkannya.

Seakan tak cukup dengan apa yang ada di seri pertama, fokus terhadap detil-detil Peter dirasa terlalu berlebih. Padahal ada karakter lain yang lebih pantas, atau wajib, seperti Harry yang sebenarnya bisa ditampilkan lebih menarik dengan premis yang sudah ada namun berakhir nanggung. Lalu misteri menghilangnya Richard, tetap menjadi sebuah misteri, tanpa ada rasa hubungan ayah-anak yang kuat dan penting disana. Bahkan saat permasalahan itu terpecahkan, impact yang ada terhadap cerita sangat kecil, menjadikannya hanya seperti sebuah plot pembantu yang bisa digantikan begitu saja dengan hal lain.

But thanks to the all supported cast. Ya, semuanya mencoba menahan film ini tetap di atas standar. Chemistry ajaib Emma dengan Garfield jelas jauh lebih baik ketimbang Tobey-Dunst. Hal itu juga yang membuat masalah cinta mereka tidak terlalu silly.

Kemudian Dane DeHaan dengan rambut emonya sukses menjanjikan masa depan yang cerah untuk Harry Osborn. Jamie Foxx yang memang sudah teruji memainkan berbagai karakter, menghidupkan cerita dengan caranya sendiri. Bahkan Sally Field sebagai Aunt May secara mengejutkan tidak hanya jadi tempelan disini.

Nilai plus lainnya datang dari departemen musik. Dimotori oleh Hans Zimmer dan dibantu Magnificent Seven alias Pharel William dkk., mood setiap adegan tersampaikan dengan baik. Yang asik adalah mereka dengan cerdik memilih konsep drum and bass untuk mendukung setiap aksi Electro. Konfrontasi pertama antara dia dengan Spidey adalah buktinya, dimana lagu dan scoring tertata dengan baik menjadikannya sebuah adegan jempolan.

Memang, inti dari permasalahan film ini adalah overstuff and plot yang malah bisa menjadikannya sebuah film yang gampang dilupakan. Namun seharusnya dengan jajaran cast yang sudah terbukti sukses, masa depan yang cerah masih bisa diharapkan dari franchise ini.

Satu hal lain yang harus diingatkan sebelum mereka membuat yang ketiga, atau pun seterusnya adalah: Plis, sudah cukup dengan segala gerakan-akrobatik-klise itu. Jika memang itu adalah ikon dan bukan spiderman namanya tanpa sepuluh menit web-slinging sebelum menghajar musuh, tetap saja kita tidak datang ke teater untuk melihat kembali 30 menit lainnya bukan?

Oh, satu lagi. Gak perlu teasing apa yang bakal muncul di film selanjutnya.  Cukup fokus dengan cerita yang ingin disampaikan. Kalo emang bagus, kita juga bakal balik lagi kok.

UPDATE: Aaaaand shit. The franchise got canceled. I'm laughing so hard here.


Minggu, 09 Februari 2014

The Wolf of Wrong Street


No I’m not drunk enough to realize that the title was wrong . Maybe Jordan Belfort did.

Kolaborasi entah ke berapa (gue males ngecek) dari dynamic duo Scorsese-Leo kali ini merambah ke arah yang agak berbeda dari yang mereka lakuin sebelumnya: komedi. Ga usah diraguin sih, mereka bikin porn aja mungkin bakal masuk nominasi oscar (bukan best costume tentunya). Ceritanya simpel aja sebenernya, tentang seorang broker termuda paling sukses dalam sejarah, Jordan Belfort, bagaimana dia merintis karirnya di dunia Wall Street dan ngebangun perusahaannnya sendiri, dengan cara dia sendiri. Simpel banget nyampe durasi filmnya tiga jam.

Beberapa orang mungkin udah parno duluan ngeliat kata Wall Street di judulnya, termasuk gue sendiri mungkin, karena liat durasinya yg panjang bener gue udah ngira film ini bakal banyak dialog-penuh-dengan-kecepatan-tinggi dan sulit dimengerti. Dan bener aja, setengah bagian awal dari cerita gue ga ngerti sedikitpun apa yang diomongin lalu gue ketiduran dan pas bangun lampu udah pada nyala dan orang-orang mulai cabut.

Canda lah.

Sejak menit pertama Scorsese gak ngebiarin kita lepas dari layar. Dengan celotehan Jordan yang membuat kita senyum-senyum kecil sampe ngakak guling-guling, semuanya mengalir dengan cepat. Sepuluh menit, setengah jam, sejam, hingga akhirnya 178 menit akhirnya berlalu begitu saja tanpa terasa. Selama hampir tiga jam itu, hampir semua emosi yang bisa dirasakan oleh manusia diramu menjadi satu, namun lewat script brilian dari Terence Winter semuanya tetap pada pakem yang ada yaitu komedi.

Dengan bijak para kreator tak terlalu memfokuskan semua detil di dunia bisnis ini, yang bisa saja menjadi blunder, namun hanya pada hal-hal yang membawa arah jalan cerita. Ga usah terlalu memusingkan masalah bisnis yang sebenarnya tak lebih dari jual-beli saham ini. Karena bahkan di salah satu scene Leo sendiri yang bilang, lo sebenernnya ga ngerti apa yang sesungguhnya sedang dia bicarain. Tapi itu ga masalah, as long  there’s the money, party, women and sex in the screen.

Money. Party. Women. Sex.

And cocaine. A lot. Of.

Leonardo DiCaprio tampil lepas banget disini. Bisa dilihat dalam setiap scene dia sedang tinggi atau sekedar menggila, kekonyolan yang muncul tak dirasa maksa. Ratusan meme comic dengan objek muka dia dapat diambil dari film ini. Dan mungkin juga karena Jordan Belfort yang asli mendampinginya sepanjang proses syuting, menjadikan karakternya dapat mewakili seorang youngster yang terjebak dalam obsesi dan prinsip dirinya sendiri. Plus lebih dari 500 kata fak yang dia ucapkan di sepanjang film, menjadi catatan tersendiri.

Adegan-adegan ikonik banyak berseliweran, mungkin beberapa diantaranya bisa menjadi legendaris. Seenggaknya kata-kata ‘sell me this pen’ bakal jadi kalimat kunci buat para trainer MLM yang lagi ngadain seminar.

Lalu ada Jonah Hill yang berhasil nyolong screen dengan watak super menyebalkan miliknya, namun selalu mendapat pembelaan dari Den Jordan, sehingga kita sebagai penonton hanya bisa pasrah melihat mereka berdua tetap akrab. Sayang banget Jean Dujardin dan Matthew McCoughney Cuma tampil seiprit, walaupun tetap mengesankan.

Yang jelas, ketika lampu mulai menyala tanda semua orang harus cabut, gue jadi pengen bikin mendoan pake tepung kokain dari hasil jualan pulpen.

Sabtu, 01 Februari 2014

[Review] Comic 8

Pertama kali gue aware sama ini ilm, adalah waktu ga sengaja liat trailer-nya sebelum nonton The Hobbit dulu. Jujur gue ga peduli mau 8, 50, ato seribu comic bikin film bareng, gue mungkin tetep bakal ga tertarik, karena menganggap ah palinng cuman manfaatin momen stand-up comedy yang lagi booming. Tapi ternyata si trailer berhasil bikin guue kepincut (which is jarang banget buat gue). Jadi kemaren gue akhirnya nonton juga filmnya, but my friends, without any expectations.

Dari segi jokes, gak perlu dikuatirin. Yeah, they’re standup comedian for sake, bunuh aja kalo ga lucu. Tapi kredit lebih harus dikasih kepada Kemal, Ari, dan khususnya Ernest yang tampil bukan sekedar sebagai comic, tapi juga aktor. Yang lainnya ga maksimal, kalo menurut gue, justru karena scriptnya sendiri yang ga mendukung mereka.

Ceritanya tentang sekelompok orang, yakni si comic-comic ini, dengan latar belakang berbeda-beda ang tanpa sengaja bertemu saat sama-sama sedang ngerampok bank. Dan gue bener-bener apresiasi sama jalan cerita yang dipaparkan. Kenapa? Karena ini film komedi, bukan thriller atau misteri apalagi sci-fi, dengan plot multi-layer twist. Untuk ukuran film Indonesia sendiri ini jarang banget, dan juga twist yang ditampilkan gak terkesan maksa malah lumayan dungples.

Yang gue kecewain justru sang empunya sutradara Anggy Umbara. Entah apa yang pengen dia sampaikan sebenarnya. Oke lo punya style sendiri sama warna gambar lo, fine. Lo punya properti senjata yang keliatan real banget dan bukan mainan, sip. Banyak mobil (kacanya doang) polisi yang lo ancurin, keren.  Slow motion-nya cool mampus, dan mungkin lo susah setengah mati bikinnya, selamat.

TAPI bukan berarti lo harus pamerin itu semua, berulang-ulang, tanpa arti, di sepanjang pertunjukan. Ada adegan hampir lima menit dar-der-dor doang, hampir 90% pake slow motion, yang Cuma nampilin kaca mobil ketembak, dan itu bener-bener annoying banget bikin bete. Saat itu juga gue pengen cabut dari teater. Mungkin tetek Nikita Mirzani yang bikin gue inget untuk tetap duduk manis.

Ide nge-rip off beberapa adegan dari film lain yang terkenal lumayan oke, mulai dari plesetan Fast 6 sampai Colombiana, kemudian pembagian cerita menjadi part-part terpisah sekaligus pengenalan karakter yang semuanya Reservoir Dogs banget, dan endingnya yang langsung ngingetin gue sama The Usual Suspect. Dan tak ketinggalan musik score yang mirip (malahan sama banget) dengan scoring Sherlock-nya RDJ.

Banyak banget ye.

Semoga aja niatnya emang sebagai parodi atau tribut buat mereka.

It's all about nice intention, Jen-Law said.

Untuk cameo, baaanyak sekali yang tampil, yang sayang sayang banget kebanyakan dari mereka cuma numpang lewat (bener-bener lewat doang). Padahal mungkin jika mereka bener-bener dimanfaatin, bakal jauh ngedongkrak lagi nilai film ini.

Dan setelah semuanya selesai, bebarengan dengan credit title, ada penampilan dari ke-8 comic tadi yang cukup menempelkan senyum kecil di wajah anda saat berjalan keluar dari teater.

So, don’t expect anything. Jokes yang mengocok seisi studio, adegan ga jelas dan ga penting, lelucon jayus dan momen-momen awkward, semuanya ada dari awal hingga akhir film, silih bergantian. Low your expectation to the lowest height, and you gonna laughs so hard. Well, at least it’s amusing, you know.