Jumat, 13 Januari 2017

Review La La Land

[Lionsgate Films; 2016]

Director: Damien Chazelle

Runtime: 128 mins, PG-13
"Dream hurts. Passion heals."
Kalo ada yang ngajak ngobrol gue soal film musikal, reaksi yang gue kasih mungkin sangat standar: cuma mangut-mangut. Gue emang gak pernah ngegali variasi genre yang satu ini. Tapi sejauh ini berdasarkan film yang sudah kutonton, tak ada yang benar-benar menyentuh tulang rusuk. Singin in the Rain? Nope. Moulin Rouge? Ew. Chicago? Yeah its fine. Not even Sound of Music. Sorry. The only one that fully entertain me was Les Miserables, which I never know why. Mungkin gue harus nyoba Grease atau West Side Story, but the point is, for now the genre is not a favorite for me.

Tapi berbeda untuk film tentang musik. Untuk beberapa tahun terakhir, John Carney menjadi salah satu yang selalu gue tunggu film barunya (thank God he made Sing Street) dan tahun kemarin, out of nowhere, tiba-tiba muncul sutradara muda bangsat bernama Damien Chazelle dengan first feature length-nya yang memiliki subgenre musical-thriller. Long story short, he’s on everyone radar. So when I heard his next project is a musical one, how dancy it would be?

The fear of not enjoying La La Land burst into dust the second it starts playing. Dibuka dengan sebuah dancing sequence dengan latar sebuah jalan bebas hambatan Los Angeles yang tengah macet dibawah terik matahari, diiringi track Another Day of Sun yang energetik, plus a hint that the movie would have a classic cinematic looks. Jujur saja ketika opening title muncul di layar gue reflek mau tepuk tangan, dan sadar bahwa ini baru satu adegan.
Everything that Damien served in this movie was exactly all he need to jerk me off and cum. Bersama partnernya sejak masih kuliah di Harvard, Justin Hurwitz, komposisi musik sepanjang film berhasil mengaduk, ngeblender malah, emosi penonton. Dari yang lincah seperti Another Day of Sun dan Someone in the Crowd di awal film, lalu trek manis A Lovely Night yang bikin kita pengen narik orang disamping buat tap dance, Mia-Sebastian’s Theme yang sedih-sedih merdu, kemudian siul-siul ganteng dan syahdu di City of Stars hingga klimaks pada Audition dan sequence Epilogue. Disaat gue kira Whiplash cuma bakal jadi one hit wonder, mereka berdua membuktikan otak mereka masih berisi banyak kejaiban.

Diluar musical numbers yang epik tersebut, kejeniusan lainnya dari Damien hadir dalam cara dia mengemas film ini. Bagaimana dengan setting cerita berada di masa kini namun efek nostalgia yang disampaikan sangatlah pekat. Dia membangun dinding-dinding pembatas seperti lokasi studio klasik, bioskop kumuh yang sudah sekarat, pool party dengan Take on Me dan I Ran yang tak hanya nostalgic namun juga set idealisme film ini dalam hal, well, ‘level bermusik’. For the bonus, look at the amount of film grain he used. Damn. Also, thanks to the DP Linus Sandgren for using film to shoot this movie.

Kecerdikan film ini berlanjut pada visualisasinya. Tim production design tidak bermain terlalu ekstrim. Mereka lebih memilih kesan minimalis untuk mendukung tone film yang lembut dan ustru, pada beberapa adegan klimaksnya, berani hadir dengan sederhana. Tak perlu lah set up lebay a la Baz Luhrmann (alasan kenapa gue geli kalau nonton filmnya) tapi cukup visual cue simpel dengan spotlight pada beberapa momen, justru yang membuat kita merinding dan merasa disayat-sayat.

Namun selain dari semua itu, mari jangan lupakan penampilan Ryan Gosling sebagai Sebastian dan Emma Stone sebagai Mia yang hadir menjadi lovebirds panutan semua pemimpi yang sedang berjuang. Chemistry mereka memang ajaib, namun terlebih lagi penghargaan harus disematkan saat bagaimana Ryan mampu total hadir sebagai dancy-dancy guy sekaligus pianis andal dengan meyakinkan. Sementara Emma Stone terus membuktikan kalau dia bukan lagi aktor muda manis penghibur haha-hihi, meski sebenarnya tidak ada yang meragukan dia sejak tampil edan di Birdman.
So, setelah elemen-elemen tadi hadir dengan pecah di sepanjang film, lantas apa? Untunglah, konklusi yang ditawarkan abang Chazelle gak muluk-muluk. Yep, konsistensi cerita untuk tidak selalu berkompromi dengan keinginan penonton terus dihadirkan hingga sampai pada akhir. Pilihan antara mimpi dan cinta, gejolak passion, ditampilkan dengan tujuan yang memang lebih mulia ketimbang menghibur penonton dengan kebohongan. Sempat membuat senyum haru di penonton dengan “Here’s to the fools who dream, crazy as they may seem..”, kita langsung dihajar dengan Damien memutar kembali keseluruhan film hanya dalam waktu tujuh menit.

Tujuh menit yang penuh kepalsuan. Dengan jalan cerita yang kita inginkan, semua manis tak ada yang cacat, namun nyatanya kita hanya bisa tersenyum pahit seperti Mia dan mengangguk menerima takdir seperti Seb.

Bangsat.

Anjing.

Dalam sebuah dialog di bar dengan Mia, Sebastian mengatakan bagaimana para musisi jazz bermain. Mereka tenggelam dalam dirinya sendiri, namun juga berdialog antara satu sama lain. They compose it. Re-arrange it. Every night.

That’s everything about jazz but life. Yeah. We can’t re-arrange it every night, not even for one night. We could think of any scenario given if we do that, or not do that, but after all it is whatever goes on. So, seing the ending that Mia and Sebastian have, I thought that was what is life looks like for the most parts. And as I walk through the exit door of cinema, four words hit my head:

Dream hurts. Passion heals.

My score: (9/10)