Sabtu, 13 April 2013

Produksi Film, Cara Sinetron

Sebelumnya gue mau minta doa nih, berhubung gue lusa mau ada hajat besar alias UN. Yoman gue mau UN nih! Jadi minta doanya ya buat kelancaran dan kelulusan bagi seluruh rakyat iIndonesia tercinta yang mengikuti UN kali ini. Amin.

Oke langsung aja, gue mau curhat sebenarnya. Tenang bukan masalah gue ngejomblo kok (kode). Mungkin temen-temen juga pernah ngalamin, disaat ingin menonton sebuah film lokal, namun dengan cepatnya film itu raib dari pasaran. Padahal film tersebut baru keluar seminggu ampe dua minggu yang lalu. Kesal kan? Ngga, yaudah.

Yang mau gue omongin sih tepatnya bukan itu, tapi coba anda perhatikan. Dengan cepatnya sebuah film lokal turun layar, (jarang yang nyampe tiga minggu) dengan cepatnya film tersebut digantikan dengan film lokal yang lain. Bisa disimpulkan, bahwa produksi film indo sangatlah subur. Dalam seminggu, 2-3 film baru keluar secara konstan.

Namun ada yang harus diperhatikan disini, yaitu betapa cepatnya sebuah film diproduksi. Bayangkan saja, rata-rata waktu yang dibutuhkan sebuah film indo dari mulai pra-produksi hingga pasca produksi hanyalah tiga minggu! Bandingkan dengan film-film luar yang produksinya memakan waktu berbulan-bulan, bahlan ada yang sampai tahunan. Nah kalo gitu, artinya hebat dong orang-orang kita bisa bikin film secepat itu? Ya ga gitu juga.

Cenderung asal-asalan, mungkin bisa dibilang seperti itu. Kurangnya sikap prefeksionis dari sang sutradara ataupun produser, yang mungkin disebabkan oleh naskah yang standar dan pas-pasan, menjadi beberapa alasan terjadinya produksi super cepat ini. Hasilnya ya bis lo ketahui sendiri lah. Ditambah dengan strategi marketing buruk yang udah gue bahsa sebelumnya, tentu saja gimana film kaya gitu mau laku. Tapi tetap, dengan rajinnya mereka memproduksi film.

Satu hal lagi, yaitu pengangkatan sebuah karya literatur, biasanya novel, menjadi sebuah film. Banyak diantara kita yang dikecewakan dengan film-film yang diangkat dari cerita atau buku kesukaan kita. Miss-casting, jalan cerita kedodoran,  dialog-dialog aneh, yang kadang tidak sanggup memenuhi ekspetasi kita. Penyebabnya? Ya, produksi yang cacat.

Ambil contoh saja, Perahu Kertas. Novel setebal 600 halaman karya Dee tersebut, dipecah menjadi 2 film (mengikuti tren Hollywood), dengan jarak rilis empat bulan, dan part kedua dari film itu hanya menceritakan seperempat bagian terakhir dari bukunya. Hasilnya? Film yang mudah dilupakan, pesan dari cerita dibuku hampir tak tersampaikan, dan hanya menjadikannya sebagai sebuah film cinta murahan. Di pasaran, filmnya laku dan seperti yang bisa ditebak, para produser langsung latah dengan rusuh memproduksi karya-karya Dee lainnya, yang berujung dengan terpuruknya Madre. Meh.

 

Kalau mau contoh yang lebih miris, coba ingat film-film yang diangkat dari karya-karya Habibburahman El-Shirazy. Kesuksesan Ayat-Ayat Cinta, tak bisa diikuti dengan pengikut-pengikutnya yang berakhir tragis. Mungkin aja sih film-film tersebut laku dan mendapat keuntungan, tetapi kita disini bicara soal kualitas kan? Karena kadang beberapa dari film tersebut overrated seperti 5cm dan Perahu Kertas tadi.

 Pokoknya, semoga saja penyakit membuat film dengan terburu-buru ini cepat menghilang. Semoga para sineas bisa dengan lebih sabar syuting, para penulis naskah bisa dengan santai membuat cerita, hingga mereka bisa menciptakan masterpiece bukan hanya film pemanis. Toh, ini bukan sinetron yang harus tayang tiap hari dengan durasi tiga jam kan? Lebih baik ada sedikit film Indonesia yang tayang di bioskop dengan kualitas tinggi, daripada film kacangan yang belum seminggu udah dikacangin.

Senin, 01 April 2013

Langkanya Film Lama Indonesia


Film Jadul? You Don’t Say…
Sebelumnya, post ini saya persembahkan untuk generasi muda (seperti saya), yang menjadi korbannya.

Siang tadi, di grup penyuka film yang gue ikuti, muncul bahasan tentang film superhero selain keluaran Hollywood. Dan kebanyakan jawaban dari member-member disana adalah film superhero dari Indonesia. Indonesia? Yup, lebih tepatnya, film jadul Indonesia.

Pernahkah terlintas di pikiran anda (kaum muda), ‘emang film indo yang muncul sebelum tahun 2000an apaan?’. Yep, kebanyakan dari kita para generasi 90an, film yang pertama kita tahu adalah Petualangan Sherina. Sisanya, mana gue tahu. Seseorang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Seseorang harus bertanggung jawab atas kurangnya pengetahuan generasi muda terhadap film-film lama Indonesia.


Beberapa hal sebenarnya bisa menjelaskan, kenapa kita hampir tidak tahu sama sekali tentang film-fuilm jadul Indonesia. Berikut beberapa diantaraya

1.    Kurangnya a.k.a Tidak Adanya Pemutaran Film Jadul di Televisi
Hampir tidak ada film 90an ke bawah yang diputar di televisi. Hampir semua film lokal yang diputar adalh film-film baru ( which is menjadikan orang-orang malas nonton film lokal di bioskop). Semua channel TV berlomba untuk memutar film yang paing terbaru, tana pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk memutar film-film lama. Paling banter juga, ya Petualangan Sherina-lah film paling tua yang pernah mereka putar. (AADC dkk mengikuti)

2.    Buruknya Pengarsipan
Lah, kan sekarang ada tuh arsip film nasional? Iya gue juga tau, tapi tetep aja salah dari awalnya. Film-film lama hampir sangat sulit dicari DVD maupun VCD-nya (yang ori ye). Malah, jangankan cari yang legal, donlod aja susah nyarinya. Padahal, siapa sih yang ga pengen nonton Lewat Djam Malam, Cinta Dalam Sepotong Roti, dan film-film legendaris lainnya? Susahnya mencari copy dari film-film ini tak lepas dari buruknya pengarsipan film di jaman dulu. Yah, imbasnya ke kita-kita deh.



3.    Kurangnya Apresiasi
Kalo di luar negri tuh, kadang film-film jadul yang mereka anggap ikonik mereka putar ulang di bioskop. Back To The Future, Butch Cassidy and The Sundance Kid, dan yang baru-baru ini keluar Jurassic Park (1992), adalah sebagian contoh film lama yang mereka rilis ulang di bioskop. Semua itu untuk tujuan agar generasi muda sekarang bisa menikmatinya, selain untuk keperluan bisnis tentunya. Bahkan Titanic masih bisa meraup keuntungan besar saat di rilis ulang dalam format 3D tahun lalu.


Memang, sekarang mulai muncul komunitas-komunitas yang mempunyai kegiatan rutin memutar film-film lama Indonesia. Harapan gue sih semoga makin banyak aja yang kayak gitu, dan semoga saluran-saluran TV juga ikut terbuka matanya kalo kita ingin mengetahui seperti apa dunia perfilman Indonesia saat itu. Bahwa kita ingin melihat sekeren apa sih film Jenderal Kancil, Cut Nyak Dien, atau Badai Pasti Berlalu itu.

IMHO, taik kalo gue ampe mati dan belum nonton itu semua.