Minggu, 09 Februari 2014

The Wolf of Wrong Street


No I’m not drunk enough to realize that the title was wrong . Maybe Jordan Belfort did.

Kolaborasi entah ke berapa (gue males ngecek) dari dynamic duo Scorsese-Leo kali ini merambah ke arah yang agak berbeda dari yang mereka lakuin sebelumnya: komedi. Ga usah diraguin sih, mereka bikin porn aja mungkin bakal masuk nominasi oscar (bukan best costume tentunya). Ceritanya simpel aja sebenernya, tentang seorang broker termuda paling sukses dalam sejarah, Jordan Belfort, bagaimana dia merintis karirnya di dunia Wall Street dan ngebangun perusahaannnya sendiri, dengan cara dia sendiri. Simpel banget nyampe durasi filmnya tiga jam.

Beberapa orang mungkin udah parno duluan ngeliat kata Wall Street di judulnya, termasuk gue sendiri mungkin, karena liat durasinya yg panjang bener gue udah ngira film ini bakal banyak dialog-penuh-dengan-kecepatan-tinggi dan sulit dimengerti. Dan bener aja, setengah bagian awal dari cerita gue ga ngerti sedikitpun apa yang diomongin lalu gue ketiduran dan pas bangun lampu udah pada nyala dan orang-orang mulai cabut.

Canda lah.

Sejak menit pertama Scorsese gak ngebiarin kita lepas dari layar. Dengan celotehan Jordan yang membuat kita senyum-senyum kecil sampe ngakak guling-guling, semuanya mengalir dengan cepat. Sepuluh menit, setengah jam, sejam, hingga akhirnya 178 menit akhirnya berlalu begitu saja tanpa terasa. Selama hampir tiga jam itu, hampir semua emosi yang bisa dirasakan oleh manusia diramu menjadi satu, namun lewat script brilian dari Terence Winter semuanya tetap pada pakem yang ada yaitu komedi.

Dengan bijak para kreator tak terlalu memfokuskan semua detil di dunia bisnis ini, yang bisa saja menjadi blunder, namun hanya pada hal-hal yang membawa arah jalan cerita. Ga usah terlalu memusingkan masalah bisnis yang sebenarnya tak lebih dari jual-beli saham ini. Karena bahkan di salah satu scene Leo sendiri yang bilang, lo sebenernnya ga ngerti apa yang sesungguhnya sedang dia bicarain. Tapi itu ga masalah, as long  there’s the money, party, women and sex in the screen.

Money. Party. Women. Sex.

And cocaine. A lot. Of.

Leonardo DiCaprio tampil lepas banget disini. Bisa dilihat dalam setiap scene dia sedang tinggi atau sekedar menggila, kekonyolan yang muncul tak dirasa maksa. Ratusan meme comic dengan objek muka dia dapat diambil dari film ini. Dan mungkin juga karena Jordan Belfort yang asli mendampinginya sepanjang proses syuting, menjadikan karakternya dapat mewakili seorang youngster yang terjebak dalam obsesi dan prinsip dirinya sendiri. Plus lebih dari 500 kata fak yang dia ucapkan di sepanjang film, menjadi catatan tersendiri.

Adegan-adegan ikonik banyak berseliweran, mungkin beberapa diantaranya bisa menjadi legendaris. Seenggaknya kata-kata ‘sell me this pen’ bakal jadi kalimat kunci buat para trainer MLM yang lagi ngadain seminar.

Lalu ada Jonah Hill yang berhasil nyolong screen dengan watak super menyebalkan miliknya, namun selalu mendapat pembelaan dari Den Jordan, sehingga kita sebagai penonton hanya bisa pasrah melihat mereka berdua tetap akrab. Sayang banget Jean Dujardin dan Matthew McCoughney Cuma tampil seiprit, walaupun tetap mengesankan.

Yang jelas, ketika lampu mulai menyala tanda semua orang harus cabut, gue jadi pengen bikin mendoan pake tepung kokain dari hasil jualan pulpen.

Sabtu, 01 Februari 2014

[Review] Comic 8

Pertama kali gue aware sama ini ilm, adalah waktu ga sengaja liat trailer-nya sebelum nonton The Hobbit dulu. Jujur gue ga peduli mau 8, 50, ato seribu comic bikin film bareng, gue mungkin tetep bakal ga tertarik, karena menganggap ah palinng cuman manfaatin momen stand-up comedy yang lagi booming. Tapi ternyata si trailer berhasil bikin guue kepincut (which is jarang banget buat gue). Jadi kemaren gue akhirnya nonton juga filmnya, but my friends, without any expectations.

Dari segi jokes, gak perlu dikuatirin. Yeah, they’re standup comedian for sake, bunuh aja kalo ga lucu. Tapi kredit lebih harus dikasih kepada Kemal, Ari, dan khususnya Ernest yang tampil bukan sekedar sebagai comic, tapi juga aktor. Yang lainnya ga maksimal, kalo menurut gue, justru karena scriptnya sendiri yang ga mendukung mereka.

Ceritanya tentang sekelompok orang, yakni si comic-comic ini, dengan latar belakang berbeda-beda ang tanpa sengaja bertemu saat sama-sama sedang ngerampok bank. Dan gue bener-bener apresiasi sama jalan cerita yang dipaparkan. Kenapa? Karena ini film komedi, bukan thriller atau misteri apalagi sci-fi, dengan plot multi-layer twist. Untuk ukuran film Indonesia sendiri ini jarang banget, dan juga twist yang ditampilkan gak terkesan maksa malah lumayan dungples.

Yang gue kecewain justru sang empunya sutradara Anggy Umbara. Entah apa yang pengen dia sampaikan sebenarnya. Oke lo punya style sendiri sama warna gambar lo, fine. Lo punya properti senjata yang keliatan real banget dan bukan mainan, sip. Banyak mobil (kacanya doang) polisi yang lo ancurin, keren.  Slow motion-nya cool mampus, dan mungkin lo susah setengah mati bikinnya, selamat.

TAPI bukan berarti lo harus pamerin itu semua, berulang-ulang, tanpa arti, di sepanjang pertunjukan. Ada adegan hampir lima menit dar-der-dor doang, hampir 90% pake slow motion, yang Cuma nampilin kaca mobil ketembak, dan itu bener-bener annoying banget bikin bete. Saat itu juga gue pengen cabut dari teater. Mungkin tetek Nikita Mirzani yang bikin gue inget untuk tetap duduk manis.

Ide nge-rip off beberapa adegan dari film lain yang terkenal lumayan oke, mulai dari plesetan Fast 6 sampai Colombiana, kemudian pembagian cerita menjadi part-part terpisah sekaligus pengenalan karakter yang semuanya Reservoir Dogs banget, dan endingnya yang langsung ngingetin gue sama The Usual Suspect. Dan tak ketinggalan musik score yang mirip (malahan sama banget) dengan scoring Sherlock-nya RDJ.

Banyak banget ye.

Semoga aja niatnya emang sebagai parodi atau tribut buat mereka.

It's all about nice intention, Jen-Law said.

Untuk cameo, baaanyak sekali yang tampil, yang sayang sayang banget kebanyakan dari mereka cuma numpang lewat (bener-bener lewat doang). Padahal mungkin jika mereka bener-bener dimanfaatin, bakal jauh ngedongkrak lagi nilai film ini.

Dan setelah semuanya selesai, bebarengan dengan credit title, ada penampilan dari ke-8 comic tadi yang cukup menempelkan senyum kecil di wajah anda saat berjalan keluar dari teater.

So, don’t expect anything. Jokes yang mengocok seisi studio, adegan ga jelas dan ga penting, lelucon jayus dan momen-momen awkward, semuanya ada dari awal hingga akhir film, silih bergantian. Low your expectation to the lowest height, and you gonna laughs so hard. Well, at least it’s amusing, you know.