Katniss Everdeen. The girls on
fire. (awal) Pemberontakan. Kata-kata barusan sudah dapat menyimpulkan
keseluruhan dari film ini.
Sekuel pertama dari franchise The
Hunger Games ini rilis menyusul kesuksesan pendahulunya tahun lalu. Hasil
adaptasi dari novel karya Suzane Collins ini memang digadang-gadang menjadi franchise
paling menguntungkan saat ini setelah Twilight Saga yang baru-baru saja
berakhir. *oh god finally*
Film hasil adaptasi dari novel
memang bukanlah merupakan hal baru. Mungkin umurnya sudah sama dengan
dimulainya prostitusi di bumi ini.
Yakali.
Intinya, akhir-akhir ini jumlah
film yang diangkat dari novel atau literatur lainnya semakin menggila. Novel
laku dikit, langsung dibeli hak jualnya. Ini semakin menandakkan bahwa krisis
ide yang menggerogoti Hollywood sudah kornis. Pilihannya adalah: adaptasi,
remake, atau ngarang-ngarang sekuel/spin-off.
Sah-sah aja sih sebenernya, tapi
seperti yang kita tahu, kebanyakan hasil adaptasi dari novel-novel tersebut
berakhir flop. Beberapa dari kegagalan tersebut sangatlah disayangkan,
mengingat buku yang diadaptasinya pun sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi
film besar layaknya seri Harry Potter.
Tunggu, ini kok malah ngelantur
ya.
Ya sudah singkatnya, The Hunger
Games meledak saat dirilis. Para produser yang kegirangan tentu langsung untuk
menyelesaikan rangkaian ceritanya yang terdiri dari tiga seri, dengan seri
terakhir dipecah menjadi dua bagian demi meraup keuntungan segede-gedenya.
Ceilah rakus amat.
Seri keduanya, The Hunger Games:
Catching Fire, yang baru tayang worldwide tiga hari yang lalu pun laku
gila seperti yang sudah diduga. Di weekend pertamanya ia sudah meraup 300 juta
dollar dari seluruh dunia. Pertanyaannya adalah:
Se-istimewa itu kah film ini?
Pada bagian Catching Fire ini sebenarnya
menjadi awal mula apa yang sebenarnya diangkat dalam cerita ini: pemberontakan.
Katniss dan Peeta yang secara tak diduga keduanya keluar menjadi pemenang di
edisi Hunger Games terakhir, menjadi harapan bagi rakyat Panem terutama di
distrik-distrik yang paling tertindas. Dan kemudian di akhir cerita dengan
sedikit twist yang ada, membeberkan bahwa pemberontakan sudah benar-benar
dimulai.
Apa yang terjadi pada filmnya
sendiri? Kosong. Durasi yang panjang ternyata tak mampu dimanfaatkan kreator
untuk menghadirkan adegan-adegan kuat. Bukannya menyampaikan pesan-pesan dalam
cerita dengan elegan, yang terjadi adalah film ini terkesan bertele-tele.
Bahkan adanya adegan pengenalan Katniss dengan gaun terbakar, dengan maksud
mengingatkan penonton bahwa film ini berhubungan dengan pendahulunya, buat saya
menjadi worthless. Scene pertarungan di arena pun baru muncul di menit
ke-90 sebenarnya, atau seperempat akhir film.
Katniss dan Peeta yang menjalani
tur kemenenangan-nya, menginspirasi orang-orang di distrik bahwa they can do
something with The Capitol. Presiden Snow yang mulai kalap, dengan segala
cara mencoba untuk memusnahkan Katniss dan semua jenis ‘spesies’-nya. Simpel?
Dan durasi hampir dua setengah jam seakan percuma karena inti film ini baru
dimulai dengan pergerakan cerita cepat paling tidak di lima belas menit
terakhir.
Tapi tenang saja, film ini tak jatuh sampai ke
titik membosankan kok. Bagian demi bagian bergulir dengan cepat, walaupun
sekali lagi, terkesan agak bertele-tele. Dan bagi yang sudah mulai serada
ngantuk sound bising saat Katniss memasuki arena (which is great)
akan menyegarkan kita lagi. Ditambah, jajaran cast yang ada mampu menyelamatkan.
Jennifer Lawrence, yang meskipun
sebenarnya bisa tampil lebih mengingat bakatnya, di beberapa adegan berhasil muncul
dengan awesome. Josh Hutcherson juga mampu memerankan karakter seorang
yang mengharapkan cinta yang dia tahu tak mungkin untuk mendapatkannya.
Yang menjadi pusat perhatian
disini justru para pemeran pendukung. Entah kenapa, penampilan Sam Claffin
disini sangat mencuri perhatian. Yep, he’s the new Ryan Gosling by the way. Lalu
ada para aktor kawakan seperti Philip Seymour-Hoffman yang tampil jahat dengan ‘meyakinkan’
seperti biasa, Donald Sutherland yang cukup karismatik disini, dan Amanda
Plummer yang walaupun muncul sebentar tapi bikin kita inget Pulp Fiction. Lah.
Visualisasi Capitol disini juga
semaikin menganggumkan, dengan kesan lebih futuristik dan dandanan warga
Capitol yang aneh namun ajaib. Make up bling-bling milik Effie memang juara,
dan penampilan Caesar (Stanley Tucci) yang sangat komikal lumayan menambah
hiburan. Bicara soal hiburan, sebaiknya jangan dulu pulang karena ada Atlas-nya
Coldplay pas credit title, juga ada Imagine Dragons dan lagu-lagu keren
lainnya (iya credit title-nya emang panjang).
So? The Hunger Games:
Catching Fire sama sekali bukanlah film buruk, melainkan menghibur, dan sedikit
disayangkan bila dilewatkan begitu saja bahkan jika anda bukan penggemar
novelnya. Namun ini juga bukanlah sebuah film besar dengan berbagai memorable
scene yang bakal teringat selama berminggu-minggu. Walaupun begitu, harapan
besar dapat diberikan pada sekuel-sekuel selanjutnya, karena tampaknya para
kreator memang memusatkan pada bagian pemberontakan dalam Mockingjay nanti.
Terlihat dari lambang Mocking jay dan title Catching Fire sendiri yang
ditaruh di akhir sebelum credit title.
Well, lets see.