Yang mau gue omongin sih tepatnya bukan itu, tapi coba anda perhatikan. Dengan cepatnya sebuah film lokal turun layar, (jarang yang nyampe tiga minggu) dengan cepatnya film tersebut digantikan dengan film lokal yang lain. Bisa disimpulkan, bahwa produksi film indo sangatlah subur. Dalam seminggu, 2-3 film baru keluar secara konstan.
Namun ada yang harus diperhatikan disini, yaitu betapa cepatnya sebuah film diproduksi. Bayangkan saja, rata-rata waktu yang dibutuhkan sebuah film indo dari mulai pra-produksi hingga pasca produksi hanyalah tiga minggu! Bandingkan dengan film-film luar yang produksinya memakan waktu berbulan-bulan, bahlan ada yang sampai tahunan. Nah kalo gitu, artinya hebat dong orang-orang kita bisa bikin film secepat itu? Ya ga gitu juga.
Cenderung asal-asalan, mungkin bisa dibilang seperti itu. Kurangnya sikap prefeksionis dari sang sutradara ataupun produser, yang mungkin disebabkan oleh naskah yang standar dan pas-pasan, menjadi beberapa alasan terjadinya produksi super cepat ini. Hasilnya ya bis lo ketahui sendiri lah. Ditambah dengan strategi marketing buruk yang udah gue bahsa sebelumnya, tentu saja gimana film kaya gitu mau laku. Tapi tetap, dengan rajinnya mereka memproduksi film.
Satu hal lagi, yaitu pengangkatan sebuah karya literatur, biasanya novel, menjadi sebuah film. Banyak diantara kita yang dikecewakan dengan film-film yang diangkat dari cerita atau buku kesukaan kita. Miss-casting, jalan cerita kedodoran, dialog-dialog aneh, yang kadang tidak sanggup memenuhi ekspetasi kita. Penyebabnya? Ya, produksi yang cacat.
Ambil contoh saja, Perahu Kertas. Novel setebal 600 halaman karya Dee tersebut, dipecah menjadi 2 film (mengikuti tren Hollywood), dengan jarak rilis empat bulan, dan part kedua dari film itu hanya menceritakan seperempat bagian terakhir dari bukunya. Hasilnya? Film yang mudah dilupakan, pesan dari cerita dibuku hampir tak tersampaikan, dan hanya menjadikannya sebagai sebuah film cinta murahan. Di pasaran, filmnya laku dan seperti yang bisa ditebak, para produser langsung latah dengan rusuh memproduksi karya-karya Dee lainnya, yang berujung dengan terpuruknya Madre. Meh.
Kalau mau contoh yang lebih miris, coba ingat film-film yang diangkat
dari karya-karya Habibburahman El-Shirazy. Kesuksesan Ayat-Ayat Cinta, tak bisa
diikuti dengan pengikut-pengikutnya yang berakhir tragis. Mungkin aja sih
film-film tersebut laku dan mendapat keuntungan, tetapi kita disini bicara soal
kualitas kan? Karena kadang beberapa dari film tersebut overrated seperti
5cm dan Perahu Kertas tadi.
Pokoknya, semoga saja penyakit membuat film dengan terburu-buru ini
cepat menghilang. Semoga para sineas bisa dengan lebih sabar syuting, para
penulis naskah bisa dengan santai membuat cerita, hingga mereka bisa
menciptakan masterpiece bukan hanya film pemanis. Toh, ini bukan sinetron yang
harus tayang tiap hari dengan durasi tiga jam kan? Lebih baik ada sedikit film
Indonesia yang tayang di bioskop dengan kualitas tinggi, daripada film kacangan
yang belum seminggu udah dikacangin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar