Smaug. Smaug. Smaug. Then yet still Smaug.
Sebagai sekuel pertama dari seri The Hobbit (yang merupakan spin-off dari the-goddamn-it-epic TLOTR series), dan prolog menuju puncaknya di There and Back Again nanti, it has to be great. Setelah setahun sebelumnya The Hobbit: An Unexpected Journey berhasil menjawab rasa kangen kita terhadap middle-earth dan segala isinya, sekarang kita dibawa kembali jalan-jalan bersama selusin dwarf, si penyihir cungkring Gandalf, dan tentunya the burglar, Bilbo Baggins. Dan yep, The Hobbit: The Desolation of Smaug, was great.
Sebagai sekuel pertama dari seri The Hobbit (yang merupakan spin-off dari the-goddamn-it-epic TLOTR series), dan prolog menuju puncaknya di There and Back Again nanti, it has to be great. Setelah setahun sebelumnya The Hobbit: An Unexpected Journey berhasil menjawab rasa kangen kita terhadap middle-earth dan segala isinya, sekarang kita dibawa kembali jalan-jalan bersama selusin dwarf, si penyihir cungkring Gandalf, dan tentunya the burglar, Bilbo Baggins. Dan yep, The Hobbit: The Desolation of Smaug, was great.
Melanjutkan
apa yang terjadi di ending The Hobbit sebelumnya, cerita masih mengikuti
perjalanan sekelompok dwarf dipimpin oleh sang pewaris raja, Thorin Oakenshield,
menuju The Lonely Mountain untuk merebut kembali kerajaan Erebor dari Smaug si
naga licik. Film dibuka dengan pertemuan antara Gandalf dan Thorin di Bree,
pertemuan yang menjadi alasan that the quest must be done. Selanjutnya,
cerita mengalir selama dua jam setengah hampir tanpa cela. Peter Jackson
berhasil memainkan tempo dengan ciamik. Penonton dibawa berlari, terengah,
menahan napas, kemudian memberi jeda untuk rileks sejenak dengan
obrolan-obrolan penting, lalu kemudian diajak berlari lagi, sprint kali ini. Porsi
action yang pas, selipan-selipan humor yang gak garing malah menambah seru, dan
drama yang dimunculkan pun tidak membuat ngantuk.
Menurut
gue, film ini dibagi-bagi jadi beberapa scene yang emang keren. Ada kejar-kejaran
antara orcs, dwarfs, dan elfs di sungai yang bikin gak napas, kemudian scene di
sarang laba-laba yang creepy, Gandalf vs Sauron (gue agak kaget liat
ini), penyelendupan ke rumah Bard yang tegang dan lucu, dan pertemuan Bilbo
dengan the Stupendous, the Unassessably Wealthy Smaug yang ngeri, kocak,
keren, gokil, semuanya campur aduk.
Jujur aja, salah satu alasan gue nonton nih
film ya emang Smaug. Setelah dibikin bete di ending The Hobbit pertama (cuma muncul
matanya doang, gede), dengan bernafsu gue ingin lihat seperti apa sebenarnya
dia ini. Setelah sabar menunggu dan hampir dua jam film berlalu (disini gue
mulai lupa sama Smaug sebenarnya), akhirnya ia muncul juga! Licik, garang, napasnye
api, kalo ngomong nyebelin, ddengan badan besar segede monas, he is
gorgeous. Walaupun cuma muncul di setengah jam terakhir, tetap saja Smaug
sukses memberi impression yang sangat kuat hingga bikin kita lupa dan
gak peduli sama apa yang terjadi sebelumnya.
Kredit
lebih kudu harus diberikan kepada Benedict Cumberbatch yang mengisi suara
Smaug. Dia berhasil menyempurnakan penampilan sang naga dengan nada-nada penuh
kebencian dan siap menebar terror. Dan ketika sampai di satu scene ketika ia berhenti
‘bermain’ dan akhirnya benar-benar marah, seisi teater rasanya langsung
bergetar. Sedikit trivia, Cumberbatch merupakan pemeran Sherlock dalam Sherlock,
dengan Dr. Watson diperankan oleh Martin Freeman yang mana menjadi Bilbo
Baggins disini. Gak penting banget ya.
Intinya,
The Desolation of Smaug berhasil nutup rangkaian nonton gue tahun 2013 dengan sukses. Durasinya yang
panjang justru semakin membuat puas dengan jalan cerita yang emang dibuat
sedemikian rupa hingga gak bikin bosan. Tingkat keseruan juga semakin lama
semakin klimaks, dengan Smaug yang menggila dan kelihatan berbahaya banget
sampai bingung ini makhluk mau diapakan. Hingga di akhir film, you’re going
to be like ‘What? So, now I have to wait one more year??’
Shit.