Director: Damien Chazelle
Runtime: 128 mins, PG-13
"Dream hurts. Passion heals."
Kalo ada yang ngajak ngobrol gue soal film
musikal, reaksi yang gue kasih mungkin sangat standar: cuma mangut-mangut. Gue
emang gak pernah ngegali variasi genre yang satu ini. Tapi sejauh ini
berdasarkan film yang sudah kutonton, tak ada yang benar-benar menyentuh tulang
rusuk. Singin in the Rain? Nope. Moulin Rouge? Ew. Chicago? Yeah its fine. Not even Sound
of Music. Sorry. The only one that fully
entertain me was Les Miserables, which I never know why. Mungkin gue
harus nyoba Grease atau West Side Story, but the point is, for
now the genre is not a favorite for me.
Tapi berbeda untuk film tentang musik.
Untuk beberapa tahun terakhir, John
Carney menjadi salah satu yang selalu gue tunggu film barunya (thank God he made Sing Street) dan tahun kemarin, out of nowhere, tiba-tiba muncul
sutradara muda bangsat bernama Damien
Chazelle dengan first feature length-nya
yang memiliki subgenre musical-thriller.
Long story short, he’s on everyone radar.
So when I heard his next project is a musical one, how dancy it would be?
The
fear of not enjoying La La Land burst into dust the second it starts playing. Dibuka dengan sebuah dancing sequence dengan latar sebuah jalan
bebas hambatan Los Angeles yang tengah macet dibawah terik matahari, diiringi track
Another Day of Sun yang energetik, plus a hint that the movie would have a
classic cinematic looks. Jujur saja ketika opening title muncul di layar gue reflek mau tepuk tangan, dan
sadar bahwa ini baru satu adegan.
Everything
that Damien served in this movie was
exactly all he need to jerk me off and cum. Bersama
partnernya sejak masih kuliah di Harvard, Justin
Hurwitz, komposisi musik sepanjang film berhasil mengaduk, ngeblender
malah, emosi penonton. Dari yang lincah seperti Another Day of Sun dan Someone
in the Crowd di awal film, lalu trek manis A Lovely Night yang bikin kita pengen narik orang disamping buat tap dance, Mia-Sebastian’s Theme yang sedih-sedih merdu, kemudian siul-siul
ganteng dan syahdu di City of Stars
hingga klimaks pada Audition dan
sequence Epilogue. Disaat gue kira Whiplash cuma bakal jadi one hit wonder, mereka berdua
membuktikan otak mereka masih berisi banyak kejaiban.
Diluar musical numbers yang epik tersebut,
kejeniusan lainnya dari Damien hadir
dalam cara dia mengemas film ini. Bagaimana dengan setting cerita berada di
masa kini namun efek nostalgia yang disampaikan sangatlah pekat. Dia membangun
dinding-dinding pembatas seperti lokasi studio klasik, bioskop kumuh yang sudah
sekarat, pool party dengan Take on Me dan I Ran yang tak hanya nostalgic
namun juga set idealisme film ini dalam hal, well, ‘level bermusik’. For the bonus, look at the amount of film
grain he used. Damn. Also, thanks to the DP Linus Sandgren for using film
to shoot this movie.
Kecerdikan film ini berlanjut pada
visualisasinya. Tim production design tidak bermain terlalu ekstrim. Mereka lebih memilih kesan minimalis untuk mendukung tone film yang lembut dan ustru, pada beberapa adegan klimaksnya, berani hadir
dengan sederhana. Tak perlu lah set up lebay a la Baz Luhrmann (alasan kenapa gue geli kalau nonton filmnya) tapi
cukup visual cue simpel dengan spotlight pada beberapa momen, justru yang
membuat kita merinding dan merasa disayat-sayat.
Namun selain dari semua itu, mari jangan
lupakan penampilan Ryan Gosling sebagai Sebastian dan Emma Stone sebagai Mia yang hadir menjadi lovebirds panutan semua pemimpi yang
sedang berjuang. Chemistry
mereka memang ajaib, namun terlebih lagi penghargaan harus disematkan saat
bagaimana Ryan mampu total hadir sebagai dancy-dancy
guy sekaligus pianis andal dengan meyakinkan. Sementara Emma Stone terus
membuktikan kalau dia bukan lagi aktor muda manis penghibur haha-hihi, meski
sebenarnya tidak ada yang meragukan dia sejak tampil edan di Birdman.
So, setelah elemen-elemen tadi hadir dengan
pecah di sepanjang film, lantas apa? Untunglah, konklusi yang ditawarkan abang Chazelle gak muluk-muluk. Yep,
konsistensi cerita untuk tidak selalu berkompromi dengan keinginan penonton
terus dihadirkan hingga sampai pada akhir. Pilihan antara mimpi dan cinta, gejolak
passion, ditampilkan dengan tujuan yang memang lebih mulia ketimbang menghibur
penonton dengan kebohongan. Sempat membuat senyum haru di penonton dengan “Here’s to the fools who dream, crazy as they
may seem..”, kita langsung dihajar dengan Damien memutar kembali
keseluruhan film hanya dalam waktu tujuh menit.
Tujuh menit yang penuh kepalsuan. Dengan
jalan cerita yang kita inginkan, semua manis tak ada yang cacat, namun nyatanya
kita hanya bisa tersenyum pahit seperti Mia dan mengangguk menerima takdir
seperti Seb.
Bangsat.
Anjing.
Dalam sebuah dialog di bar dengan Mia, Sebastian
mengatakan bagaimana para musisi jazz bermain. Mereka tenggelam dalam dirinya
sendiri, namun juga berdialog antara satu sama lain. They compose it. Re-arrange it. Every night.
That’s everything about jazz but life. Yeah. We can’t re-arrange it every night, not
even for one night. We could think of any scenario given if we do that, or not
do that, but after all it is whatever goes on. So, seing the ending that Mia
and Sebastian have, I thought that was what is life looks like for the most
parts. And as I walk through the exit door of cinema, four words hit my head:
Dream
hurts. Passion heals.
My
score: (9/10)