[Sony Pictures; 2014]
Director: David Ayer
Restricted, 2hr 15m
Bagian paling puitis di sepanjang dua jam ke depan membuka
cerita yang mungkin sudah ratusan kali diangkat ke layar lebar ini. Merajam
kepala manusia dengan pisau merupakan tindakan wajar dan membiarkan seekor kuda
hidup bebas adalah tindakan yang lebih penting agar masih bisa disebut
manusiawi. Sekaligus memperkenalkan sebuah grup tentara dan tank-nya, ‘Fury’,
berisikan seorang yang agamis, orang meksiko, prajurit temperamen, dan sang
pemimpin yang mungkin jadi filsuf perang jika bisa
selamat nanti.
Cerita bergerak lumayan cepat di awal, dengan langsung
dikenalkannya seorang tentara baru masuk ke dalam grup tersebut; dia yang tak
mau membunuh seorang pun, dia yang punya keahlian mengetik 60 kata per menit,
harus beradaptasi dengan cepat dan mematuhi satu perintah: kill the Nazis.
Kegilaan dalam perang dipilih sebagai hal yang paling ingin
ditampilkan David Ayer sebagai creator. Selain tentunya menembakkan ratusan
peluru ke tubuh Nazi yang sudah mati dan sengaja tidak menembak mereka yang
terbakar agar mati perlahan, sisi moral dan sikap mereka di luar peperangan pun
sudah berubah. Bagaimana caranya menjilat dan meludahi makanan orang lain
dibilang normal, dan menghormati tuan rumah makan malam dengan tidak meng-gang
bang-nya adalah hal yang tidak wajar?
Karakter Logan Lerman mungkin ditujukan sebagai kompas moral
dalam melalui cerita ini. Menolak membunuh mata-mata musuh yang ada di depan
matanya, tidak ikut menembaki mayat-mayat lalu dengan baik menghabisi setiap
Nazi yang terbakar, bahkan tak mampu menembakkan peluru ke kepala orang yang
jelas-jelas baru saja membunuh tentara di pihaknya. Semua itu hanya karena ia
sama sekali tak mengerti perang, dan tak yakin siapa yang benar dan salah di
dalamnya.
But war doesn’t determine
who is right. It determines who is left.
Brad Pitt sebagai Wardaddy (cocok atau tidak panggilannya,
silahkan tentukan sendiri) tampil elegan dengan segala pandangannya tentang
perang. Walau tak sesempurna Lt. Aldo Reine di perang yang sama namun beda
semesta, dia punya semua alasan mengapa ia bisa, dan harus, menjadi pemimpin
tank-nya. Ia bisa menjadi orang paling
suci di suatu kondisi namun iblis jahat dilain kesempatan, yang jelas semua itu
benar dalam logiknya.
Sementara sisanya saling melengkapi: tentara religious dengan
Tuhan-nya sebagai pembenaran dan harapan akan semua dan apa yang akan terjadi,
tentara asal meksiko dengan sifat meksikonya (selalu saja ada), dan tak
ketinggalan karakter pemarah, tukang ribut, seorang optimist, yang sangat berguna jika kita kebingungan dan
butuh bumbu-bumbu konflik.
Standar sebenarnya.
Dari sisi sinematik, omong kosong tampaknya jika tak
mengakui apa yang tertangkap mata dan telinga sepanjang pertunjukkan semuanya
jempolan. Divisi artistik tentu tak mau main-main dalam menghidupkan suasana neraka
di Jerman saat itu. CGI dan FX yang gak berlebihan justru hasilnya pas. Plus
sinematografi yang membuat setiap adegan battle
intense dan bagian drama natural. Namun semuanya baru jadi nirwana ketika
sound effect yang ga nanggung-nanggung dan scoring yang tanpa tega akan
menyayat hati dan telinga jika diperlukan, menyatu dengan yang lainnya. Tak ada
yang meragukan kalau adegan one on one tank
battle itu sama kaya dan mahalnya dengan keseluruhan sisa film.
Namun terkadang, bahkan disaat paling genting dan seru pun pertanyaan
itu datang: lalu apa? If we’re here not for right or wrong, then for what? Mungkin
perdamaian harganya memang sangat mahal dan butuh jutaan nyawa melayang untuk
membelinya, dan tak ada cara manusiawi untuk mencapainya, mungkin malah kita
tak bisa disebut manusia saat melakukannya. Kalau begitu, masih pantaskah
perdamaian itu dikejar? Yang diakhir perjalanan menyebabkan kompas moral kita untuk
melewati cerita ini rusak, melupakan segala keraguan dan pertanyaan dan mulai
senang menembaki musuh sambil teriak ‘Fuck you Nazi!’?
In the end, Wardaddy has a point
‘Ideology is peaceful,
history is violence.’
My thought: 6,5/10